Perjalanan Pendidikan Nasional berdasarkan Perspektif Ki Hadjar Dewantara


Profile: Ni Kadek Rita Aristiani
PPG Prajabatan 2023


Panggilan Menjadi Guru

Seorang guru ingin memberikan kontribusi positif dalam dunia pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membangun hubungan yang mendalam menjadi sauatu kelebihan yang paling memuaskan dalam menjadi seorang guru. Profesi seorang guru menjadi salah satu profesi yang sangat mulia yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan menumbuhkan potensi generasi masa depan serta menjadikan generasi masa depan menjadi generasi yang kaya akan ilmu pengetahuan dan generasi yang memiliki wawasan yang luas.

Profesi seorang guru juga sebagai pengganti orang tua siswa disekolah. Menjadi guru tidak hanya dituntut untuk mengajar siswa disekolah mengenai mata pelajaran yang diampu melainkan guru juga sebagai contoh yang teladan untuk siswanya. Profesi guru juga sering disebut sebagai “pahlawan tanpa jasa”. Adapun kelebihan dari profesi guru yaitu seorang guru mampu memberikan perubahan kehidupan yang positif dan perkembangan belajar pada siswa dengan memberikan metode pembelajaran yang sifatnya menyenangkan namun tidak mengurangi makna dari materi yang sedang dipelajari melalui game edukasi, kuis interaktif, dan sebagainya. Oleh karena itu, kualitas sumber daya manusia atau pendidik harus dioptimalkan. Dengan  mempersiapkan guru professional maka akan menghasilkan generasi yang unggul dalam memajukan Pendidikan di Indonesia.

Seorang guru yang profesional adalah guru yang memiliki tanggung jawab etika dan standar profesional yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab terhadap hasil kerjanya. Profesi sebagai seorang guru juga sebagai garda terdepan dan paling penting dari kehidupan masyarakat dan hal itu sebagai salah satu kebanggan dari profesi ini, alasannya karena guru bisa melihat kekuatan dan kelemahan setiap siswa dari penilaian hariannya.

Guru sebagai model dan contoh yang bertugas untuk mendisiplinkan siswanya menjadi pribadi yang lebih cerdas, sopan dan juga ramah, maka secara langsung guru harus mendidik kepribadiannya terlebih dahulu sebelum menjadi contoh yang teladan untuk siswanya, karena guru menjadi mentor, teman, dan figur yang dipercaya oleh siswa. Seorang guru dapat sukses dalam meningkatkan kemampuannya jika selalu menanamkan hal yang baik dalam diri serta belajar secara terus-menerus dan berkelanjutan.


Tantangan dan cara guru untuk berpihak pada peserta didik?

Pembelajaran yang berpihak pada peserta didik dapat difokuskan pada pengembangan holistik (kognitif, sosial, emosional dan fisik), tujuannya untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna, relevan, dan menginspirasi sehingga fokus siswa tidak akan buyar melainkan akan fokusnya akan semakin tajam dan proses pembelajaran. Guru juga bisa menggunakan strategi pembelajaran berbasis proyek karena melibatkan setiap siswa dalam proyek pembelajaran yang relevan dan bermana.

Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan yang dimiliki dalam kegiatan kolaboratif, berpikir kritis dan juga kreatif melalui pembelajaran berbasis proyek. Dengan membangun hubungan yang positif antara guru dan siswa akan membuat hubungan menjadi erat sehingga siswa akan lebih percaya diri dan terbuka untuk berpendapat atau berpartisipas aktif dalam diskusi.

Menjadi seorang guru juga harus mengetahui cara belajar setiap siswa nya, karena guru harus kreatif dan inovatif juga bisa menggunakan variasi media pembelajaran sesuai perkembangan teknologi zaman sekarang yaitu pada perkembangan pembelajaran abad 21 yang menuntut siswa untuk memiliki keterampilan 4C (Critical Thinking, Creativity, Collaboration and Communucation). Misalnya, penggunaan game edukasi, quiz online, ataupun video pembelajaran yang mendukung pendekatan guru dengan siswa. 

Dalam proses menuntun, seorang guru perlu memahami tentang manusia Indonesia melalui pemahaman dan pemaknaan yang mendalam tentang Pancasila sebagai identitas dan entitas manusia Indonesia. Karena pendidikan sebagai aspek yang penting dalam kemajuan sebuah bangsa sehingga kita sebagai warga negara yang mencintai bangsa Indonesia sudah seyogyanya untuk ikut serta berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD 45. 

Dapat disimpulkan bahwa pentingnya mengikuti mata kuliah filosofi pendidikan nasional untuk membantu dalam memahami bagaimana filosofi pendidikan nasional yang berjalan di Indonesia. Mata Kuliah Filosofi Pendidikan Nasional penting untuk diikuti karena pada mata kuliah ini mengajak para guru untuk menumbuhkan imperatif edukatif-moral di dalam diri sendiri, para guru atau peserta didik. Mata kuliah ini menguatkan pandangan tentang ‘Pendidikan adalah menuntut”, maka tugas utama pendidik adalah menuntun siswa-siswanya.


Hal ini sejalan dengan yang di kemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara

Pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat anak-anak, agar sebagai manusia dan masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiian setinggi-tingginya


Artinya pendidikan merupakan proses humanime yang dikenal dengan istilah memanusiakan manusia, yang bertujuan untuk menyiapkan pribadi seimbang, kesatuan, organis, harmonis, dan dinamis. Ki Hajar Dewantara juga menekankan bahwa dalam menuntun anak kita dapat menggunakan asas Trikon sebagai acuan yang terdiri dari 3 asas yaitu sebagai berikut.

  1. Asas Kontinyu (berkesinambungan / masa lalu, masa kini, dan masa depan)
  2. Asas Konvergen (keragaman dan kesatuan: toleransi, kerjasama, dan saling menghargai, cinta tanah air dan identitas nasional )
  3.  Asas Konsentris (berkembang sesuai tuntutan alam dan zaman: kreatif, kritis, dan inovatif).

Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga mengemukakan tentang Tripusat pendidikan yaitu sebagai konsep pendidikan yang menyatakan bahwa tiga fokus pendidikan adalah tiga lingkungan pendidikan yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat secara sinergis memiliki peran dan tanggung jawab dalam mengembangkan pendidikan untuk anak. Berikut adalah peran dari masing-masing lingkungan.

  • Lingkungan keluarga tetap menjadi lingkungan pendidikan paling utama dalam membangun pendidikan etika, agama, serta perilaku sosial.''
  • Lingkungan sekoalah menjadi lembaga wiyata yang menyampaikan ilmu pengetahuan serta pendidikan keahlian.
  • Lingkungan masyarakat menjadi lokasi anak belajar membangun karakter serta kepribadiannya.

Perjalanan Pendidikan Nasional: Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan

    Pendidikan dari zaman ke zaman diawali dengan pendidikan pada pemerintah kolonial yang mendirikan sekolah dasar bernama Volkschool (Sekolah Rakyat) bagi orang pribumi yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Pendidikan masa ini menekankan kemampuan menulis, membaca bahasa Jawa dan Melayu, serta berhitung tingkat rendah. Pemerintahan kolonial tidak bertujuan mencerdaskan bangsa Indonesia, melainkan hanya untuk kepentingan kolonial atau sebagai upaya pemenuhan tenaga kerja yang murah tetapi terdidik khususnya untuk swasta. Pada tahun 1854 beberapa bupati menginisiasi pendirian sekolah di Kabupaten yang hanya mendidik calon pegawai. 


    Kemudian lahirlah sekolah Bumiputera yang diprakarsai oleh: Ngabehi Dwidjosewojo, Karto Hadi Karto Soebroto dan Adimidjojo dan hanya memiliki 3 kelas. Kemudian zaman bangkitnya jiwa merdeka dimulai tahun 1920 lahirlah cita-cita baru untuk mendirikan perubahan radikal dalam pendidikan. Pendidikan zaman kolonial tidak sesuai dengan identitas dan karakteristik bangsa Indonesia, tidak berperikehidupan, tidak menjadikan manusia merdeka. Sehingga perlunya perubahan pendidikan yang mengutamakan “intelektualisme” menjadi sistem mengajar berdasarkan “tuntunan” bukan “paksaan” agar menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin.

   Pendidikan dan pengajaran itu sebenarnya harus bersifat pemeliharaan tumbuhnya benih-benih kebudayaan. Menurut Ki Hajar Dewantara, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari pendidikan. Sedangkan pendidikan (opvoeding) adalah, segala upaya dalam memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak. Pada tahun 1920-1922 cita-cita pendidikan sesuai dengan identitas dan karakter bangsa Indonesia dimulai dengan lahirnya Taman Siswa (Taman Siswa School) di Yogyakarta yang memberikan pengajaran peradaban sebagai gerbang emas kemerdekaan dan kebebasan berkebudaya. Pendirian Taman Siswa merupakan bentuk perlawanan Ki Hadjar Dewantara terhadap deskriminasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda (anti-kolonial). Tokoh pendiri Taman Siswa: Ki Hajar Dewantara, Sutomo Suryokusumo, Suryoputro, dan Ki Pronowidigdo. Ki Hajar Dewantara membuat tiga buah semboyan saat mendirikan Taman Siswa tersebut. Ki Hajar Dewantara yang lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 menggunakan bahasa Jawa untuk membuat tiga semboyan bagi para pengajar dalam dunia pendidikan Indonesia.


      Tiga semboyan tersebut adalah:

  1.      Ing Ngarsa Sung Tulada artinya dari depan, seorang pendidik harus memberikan teladan  yang baik. 
  2.    Ing Madya Mangun Karsa artinya dari tengah, seorang pendidik harus dapat menciptakan prakarsa atau ide.
  3.       Tut Wuri Handayani artinya dari belakang, seorang pendidik harus bisa memberi arahan. Kalimat terakhir ini berarti seorang pemimpin jika berada di belakang.

      Pada era reformasi, pendidikan meliputi hampir semua aspek dari sistem pendidikan nasional termasuk kurikulum, Sekolah diberdayakan melalui ”Manajemen Berbasis Sekolah”. Pemerintah mengupayakan sektor pendidikan agar tidak terbengkalai, maka diadakan program nasional seperti anggaran BOS bagi sekolah yang membutuhkan. Pada era saat ini, pendidikan diterapkan menggunakan Kurikulum Merdeka Belajar berdasarkan perspektif Ki Hajar Dewantara. Merdeka belajar adalah pendidikan yang memerdekan lahir dan batin peserta didik dan tidak bergantung kepada orang dan belajar tanpa adanya paksaan karena masih hal yang membelenggu yang belum memerdekakan atau ruang gerak yang sempit untuk merdeka.


      Praktik Pendidikan saat ini yang ‘membelenggu’ kemerdekaan peserta didik 

     Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2003 tentang tujuan pendidikan nasional dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan adalah menginginkan peserta didik dapat berkembang potensinya, sehingga dapat menjadi seorang generasi muda yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki budi yang luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, sehat secara jasmani dan rohani, serta memiliki kepribadian yang sesuai nilai luhur bangsa Indonesia (Pancasila). 

    Seiring perkembangan zaman dibarengi dengan IPTEK, terdapat perubahan pembelajaran yang mengarah pada perkembangan potensi peserta didik melalui penggunaan Teknologi. Maka, perkembangan IPTEK ini tentunya berdampak positif bagi dunia pendidikan di Indonesia dengan memberikan kemudahan bagi tenaga pendidikan dan peserta didik dalam mengakses berbagai informasi tanpa harus menjadikan orang lain sebagai sumber informasi.

    Oleh karena itu, praktik pendidikan yang ‘membelenggu’ kemerdekaan peserta didik untuk belajar dilihat dari Indonesia sebelum merdeka sebagai berikut:

  •        Sarana dan prasarana yang kurang memadai
  •        Jumlah guru terbatas
  •       Sistem pendidikan hanya dikhususkan pada kaum kolonial dan bangsawan
  •    Pribumi dibatasi sekolah hanya belajar baca, tulis, hitung, dan wajib bekerja untuk kolonial.

    Sedangkan, setelah kemerdekaan pun masih ada praktik pendidikan yang masih ‘membelenggu’ kemerdekaan peserta didik saat ini dan dijabarkan sebagai berikut:

  •     Ketimpangan pemerataan pendidikan 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Kawasan pedesaan menjadi kawasan pendidikan yang tidak merata, dan hal ini telah dibuktikan dari daerah perkotaan yang cenderung pendidikannya lebih merata ketimbang didaerah pedesaan tersebut. Pemerataan pendidikan bisa terlihat dari tersedianya tenaga kependidikan, kelayakan gedung sekolah, sarana dan prasarana sekolah, tersedianya jaringan internet, dll. Sehingga, pemerataan pendidikan pada daerah pedesaan terbilangan kurang sebab masih adanya sekolah yang tidak memiliki guru.
  •    Pergantian kurikulum dan penggunaan dua kurikulum (sekolah tertentu) yang menyebabkan guru dan peserta didik harus beradaptasi dengan perubahan kebijakannya, dan melaksanakan skema pembelajaran pada masing-masing kurikulum yang berbeda. 

       Bagaimana jika perubahan kurikulum terus-menerus dilakukan? 

   Guru dan peserta didik harus beradaptasi kembali dengan perubahan kurikulum. Sebab terjadinya perubahan kurikulum, tentunya akan ada perbedaan kebijakan yang harus dilaksanakan oleh pendidik dan peserta didik. Sehingga, tugas seorang pendidik/guru harus memiliki profesionalisme untuk terus mengupgrade diri agar dapat merancang pembelajaran sesuai tuntutan zaman, kurikulum, dan yang terpenting adalah peserta didik.

    Perubahan system pembelajaran ini menjadikan tantangan tersendiri bagi pendidik untuk dapat membuat siswa tidak merasa terbebani dengan perubahan kurikulum yang ada melalui tetap melaksanakan pembelajaran abad 21, yakni pembelajaran yang mengutamakan siswa berpikir kritis dan pemecahan masalah melalui argument, projek dan produk. Sehingga, praktik pendidikan yang ‘membelenggu’ kemerdekaan peserta didik dari sebelum dan sesudah merdeka dapat menjadi tonggal awal bagi pendidik untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan zaman, kurikulum, dan karakteristik peserta didik agar siswa merasa merdeka karena dapat belajar sesuai potensi minat dan bakatnya.


      Model-model yang dapat melepaskan ‘belenggu’ yang belum memerdekakan peserta didik

  •     Problem Based Learning, merangsang siswa untuk belajar melalui permasalahan nyata dengan melibatkan keaktifan peserta didik untuk selalu berpikir kritis dan selalu terampil dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara sistematis. Semakin aktif peserta didik memanfaatkan keterampilan berpikirnya, semakin besar peluang masalah untuk diselesaikan sehingga mendorong peserta didik untuk menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab.
  •    Project Based Learning, menjadikan peserta didik sebagai subjek atau pusat pembelajaran, menitikberatkan proses belajar yang memiliki hasil akhir berupa produk. Artinya, peserta didik diberi kebebasan untuk menentukan aktivitas belajarnya sendiri, mengerjakan proyek pembelajaran secara kolaboratif.
  •     Contextual Teaching Learning (CTL): menekankan pada proses partisipatif siswa dengan cara menemukan dan menggabungkan materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan untuk memotivasi siswa agar mampu menerapkan materi tersebut dalam kehidupan nyata sehingga menimbulkan ketertarikan peserta didik dalam.
  •      Discovery Learning: mengembangkan cara belajar siswa yang aktif dan kreatif untuk menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, memproses sendiri dan menyimpulkan sendiri atau dapat disebut dengan belajar penemuan serta mengonstruksi informasi lewat proses intuitif/pencocokan sehingga keterampilan berfikir peserta didik lebih aktif, kreatif dan membangun sikap percaya diri, maka pembelajaran akan lebih bermakna dan tentunya tidak akan mudah dilupakan oleh siswa.
  •     Inquiry Learning: menekankan pada penemuan konsep/arti, hubungan dan prinsip melalui kegiatan observasi/ eksperimen untuk menyelesaikan masalah melalui proses memahami/menalar hingga mendapat kesimpulan sehingga mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa serta menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi dan dipertanyakan.
  •     Model Jigsaw: hampir sama dengan model kooperatif yaitu belajar dengan kelompok kecil yang beranggotakan beberapa orang dan setiap anggota bertanggung jawab pada tugasnya untuk bisa memahami secara keseluruhan materi yang akan didemonstrasikan di depan kelompok lain sehingga dapat mendalami konten materi yang diberikan oleh guru secara sempurna. Kesempurnaan itu dapat terlihat melalui kegiatan demonstrasi yaitu bagaimana cara peserta didik mencoba menjelaskan kepada teman – temannya terkait materi yang dibawakan.
  •      Cooperative Scripting, mengarahkan siswa untuk belajar secara berpasangan dan bekerja secara bergantian dengan menyampaikan pendapat (fakta) dari bagian materi yang dipelajari.
  •      Model Kooperatif: menekankan pada kerjasama kelompok menggunakan berbagai aktivitas belajar untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi. 

       Model Pendidikan yang ditawarkan dapat melepaskan belenggu dan   memerdekakan peserta didik

     Model yang dapat ditawarkan untuk melepaskan belenggu dan memerdekakan peserta didik yaitu sama seperti yang digagas oleh mentri pendidikan yang mana memberikan ruang atau kebebasasn peserta didik untuk memilih sendiri mata pelajaran atau bidang yang ingin digeluti dan disukainya, namun dalam pemilihan ini ditetapkan mata pelajaran yangwajib untuk dipilih seperti numerasi dan literasi dasar. Serta proses penilaian didasarkan pada proses pembelajaran bukan pada ujian akhirnya saja.

  Menggunakan Kurikulum Merdeka Belajar Dengan penerapan Kurikulum Merdeka, pembelajaran dilakukan melalui paradigma baru dan berdiferensiasi sehingga menjadi menyenangkan, berpusat pada siswa, dan sesuai kebutuhan serta tahap kembang siswa. Dalam hal ini, pembelajaran berpusat pada peserta didik (Student centered learning) dan peserta didik bisa memilih pelajaran yang diminati. Hal ini bertujuan untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik maupun guru. 

   Selain itu, guru harus menyiapkan dan melatihkan peserta didik bukan hanya mengenai pengetahuan tetapi juga keterampilan-keterampilan yang mereka butuhkan untuk kehidupan, seperti siswa harus memiliki keterampilan 4C (critikal thinking, creativity, collaboration, communication), dan literasi digital. Pembelajaran merdeka belajar fokus pada praktik pembelajaran yang tujuannya bukan untuk menyelesaikan materi tetapi menguasai dan mendalami materi yang dapat diterapkan di berbagai konteks. Dengan adanya kurikulum merdeka belajar ini siswa diberikan ruang untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan keinginannya supaya siswa memiliki jiwa kompetensi yang baik dan karakteristik yang baik.

    Pembelajaran Tanpa Sistem KKM Pada kurikulum saat ini ketuntasan hasil belajar tidak lagi diukur dengan KKM yang berupa nilai kuantitatif. Mengenai asesmen formatif pada pembelajaran dilakukan untuk mengidentifikasi ketercapaian tujuan pembelajaran. Artinya bahwa guru diberikan keleluasaan dalam mengidentifikasi ketercapaian tujuan pembelajaran. Untuk mengetahui capaian belajar sudah memadai atau belum, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ketercapaian tujuan pembelajaran, guru diberikan keleluasaan untuk menentukan kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran sesuai dengan karakteristik kompetensi pada tujuan pembelajaran dan aktivitas pembelajarannya. 

    Melalui asesmen formatif pada pembelajaran dilakukan untuk mengidentifikasi ketercapaian tujuan pembelajaran. Hal ini bertujuan utnuk mengetahui setiap mata pelajaran, dari topik bahkan sub topik materi pelajaran. Guru diberikan keleluasaan untuk menentukan kriterianya yang tentu menyesuaikan dengan karakteristik pada tujuan pembelajaran dan aktivitas pembelajaran. Kondisi saat ini menurut data dari Kemdikbud, mayoritas guru hanya melakukan penilaian pada assesment of learning (Penilaian Akhir Semester/PAS atau Penilaian Tengah Semester/PTS). Dan assesment for learning (penilaian ulang, perbaikan nilai atau remedial dan pengayaan.





 REFERENSI 

Irawati, D., Masitoh, S., & Nursalim, M. (2022). Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara sebagai Landasan Pendidikan Vokasi di Era Kurikulum Merdeka. JUPE : Jurnal Pendidikan Mandala, 7(4), 1015–1025. https://doi.org/10.58258/jupe.v7i4.4493

Pristiwanti, D., Badariah, B., Hidayat, S., & Dewi, R. S. (2022). Pengertian Pendidikan. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 4(6), 1707–1715.

Stanton, R. (2007). Teori fiksi Robert Stanton. 185.

Sugiarta, I. M., Mardana, I. B. P., Adiarta, A., & Artanayasa, W. (2019). Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (Tokoh Timur). Jurnal Filsafat Indonesia, 2(3), 124–136. https://doi.org/10.23887/jfi.v2i3.22187

Supardan, D. (2018). Menyingkap Perkembangan Pendidikan Sejak Masa Kolonial Hingga Sekarang: Perspektif Pendidikan Kritis. 1.














 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Berdasarkan Konteks Sosio-Kultural dan Kearifan Lokal Masyarakat Hindu di Bali sebagai Penguatan Karakter